Luar Biasa!!! Cara Shahabat Nabi,Zaid bin Tsabit Tegakkan Panji Kebesaran Islam
Peperangan jaman Nabi |
Zaid bin Tsabit kemudian berpikir untuk mencari jalan perjuangan lain yang tak harus memiliki batasan usia, tetapi tetap dekat dengan Rasulullah. Caranya adalah dengan menghafal Alquran.
Sang ibu sangat senang dan ingin anaknya menjadi penghafal Alquran. Sang ibu pun berbicara dengan beberapa orang Anshar tentang keinginan anaknya. Kemudian, dia membicarakan masalah ini dengan Rasulullah.
"Wahai Rasul Allah, anak kami Zaid telah menghafal tujuh belas surah dari Kitab Allah dan membacakannya sama seperti diwahyukan kepadamu. Selain itu, dia piawai membaca dan menulis. Dengan ini dia berusaha ingin dekat dengan Anda," kata mereka menerangkan.
Rasul pun mendengarkan Zaid membaca beberapa surah. Bacaannya jelas dan indah. Nabi merasa senang. Zaid menda pat kan pujian karena kemampuannya meng hafal Alquran dengan cepat dan me nulis dengan baik. Kemampuan itu tak dimiliki banyak orang ketika itu.
Pena Rasulullah
"Wahai Rasul Allah, anak kami Zaid telah menghafal tujuh belas surah dari Kitab Allah dan membacakannya sama seperti diwahyukan kepadamu. Selain itu, dia piawai membaca dan menulis. Dengan ini dia berusaha ingin dekat dengan Anda," kata mereka menerangkan.
Rasul pun mendengarkan Zaid membaca beberapa surah. Bacaannya jelas dan indah. Nabi merasa senang. Zaid menda pat kan pujian karena kemampuannya meng hafal Alquran dengan cepat dan me nulis dengan baik. Kemampuan itu tak dimiliki banyak orang ketika itu.
Pena Rasulullah
Rasul memintanya untuk mempelajari tulisan orang Yahudi. Dia pun menaati perintahnya. Zaid menguasai bahasa Ibrani, baik lisan maupun tulisan. Dia mampu menerjemahkan kata-kata Rasulullah ketika ingin berkomunikasi dengan orang Yahudi, baik saat berpidato maupun berbentuk surat.
Begitu juga ketika Yahudi menuliskan surat untuk Nabi, Zaid yang menerjemahkan nya ke dalam bahasa Arab. Setelah baha sa Ibrani, Rasul pun memerintah kannya untuk mempelajari bahasa Syria. Dengan tugas ini, Zaid telah melakukan tugas penting sebagai penerjemah Rasul dengan mereka yang tidak bisa berbahasa Arab.
Berkat antusiasme dan keterampilan dia dan mampu melaksanakan tugas selama ini, Nabi menambahkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat. Dia memerintahkan untuk mencatat wahyu Allah dengan tulisan dan merekam dengan hafalannya. Ketika Rasul mendapatkan wahyu, dia memanggil Zaid sambil meminta membawa perkamen, tinta, dan tulang belikat hewan untuk menu lis bagian dari Alquran tersebut.
Zaid memang bukan satu-satunya penulis pribadi Rasulullah. Sumber lain mencatat, terdapat 48 orang yang biasa menulis untuknya, tetapi Zaid yang paling menonjol di antara mereka.
Tugas Berat Zaid bin Tsabit
Zaid Bin Tsabit menyaksikan bagaimana kondisi Rasulullah ketika menerima wahyu dari malaikat Jibril. Dia dibesarkan bersama ayat-ayat Alquran sehingga mampu memahami dengan baik ketika wahyu Allah tu run. Karena pengalamannya itu, dia telah memahami syariah sejak usia dini. Zaid juga sebagai salah satu cendekiawan muda di antara sahabat Rasulullah.
Setelah Rasulullah wafat, Zaid mendapatkan tugas untuk mengotentifikasi Alquran karena banyak penghafal Alquran tewas dalam peperangan. Umar bin Khattab meyakinkan Abu Bakar untuk mengumpulkan Alquran dalam manuskrip. Abu Bakar kemudian memanggil Zaid untuk membahas pengumpulan Alquran.
Abu Bakar yakin pemuda itu cerdas dan terpercaya. Bagi Zaid, mengumpulkan Alquran adalah tugas yang sangat berat. Bahkan, dia membandingkan hal itu dengan meng geser gunung yang dinilainya masih lebih mudah. Meski demikian, dia tetap menerima tugas tersebut.
Zaid mulai mengumpulkan bagian-bagian Alquran yang ditulis di perkamen, tulang belikat, daun pohon kurma, dan ingatan manusia. Dia melaksanakan tugas ini dengan penuh kehati-hatian dan bersungguh-sungguh. Dia menjaga agar tidak ada satu kesalahan pun.
Zaid telah menyelesaikan pekerjaannya sebelum Abu Bakar wafat. Dia membuat satu suhuf Alquran. Sebelum meninggal, dia mewariskan suhuf ini kepada Umar bin Khattab. Kemudian, Abu Hafs memberikan mushaf itu kepada putrinya yang juga istri Rasulullah, Hafsah, yang juga penghafal Alquran.
Selama masa kekhalifahan Usman bin Affan, daerah kekuasaan Islam meluas. Dam paknya mereka memiliki bahasa yang ber beda dalam membaca Aqluran. Sekelompok sahabat Rasulullah yang dipimpin oleh Huzayfah bin Yaman di Irak mendatangi Usman dan mendesaknya menyelamatkan umat Islam sebelum mereka memahamai Alquran dengan berbeda.
Usman mendapatkan manuskrip Alquran dari Hafsah dan memanggil Zaid bin Sabit serta beberapa sahabat lain yang berkompeten membuat salinan Alquran dengan akurat. Zaid kembali mendapatkan tugas dari Usman untuk menyalin Alquran. Dia pun menyalin Alquran dengan teliti.
Zaid bersama asistennya menulis banyak salinan. Setiap salinan itu dikirim ke setiap provinsi kekuasaan Islam. Sedangkan, salinan lainnya yang tidak sesuai dengan salinan tersebut harus dibakar. Hal ini penting untuk menghilangkan berbagai versi Alquran yang berbeda dari teks standar. Usman juga menyimpan satu salinan untuk dirinya sendiri. Sedangkan, mushaf yang asli dikembalikan kepada Hafsah.
Zaid pun menjadi seorang yang berwenang menulis Alquran. Umar bin Khatab pun pernah berbicara kepada kaum Muslim agar menemui Zaid jika ingin bertanya tentang Alquran. Setelahnya para tabi'in mendatanginya dan mendapatkan pengetahuan Alquran secara jelas. Ketika Zaid meninggal, umat Islam merasakan kesedihan mendalam. Umat Islam patut berterima kasih kepada Zaid karena dia telah membantu melestarikan Alquran yang kekal sepanjang masa.
Setelah Rasulullah wafat, Zaid mendapatkan tugas untuk mengotentifikasi Alquran karena banyak penghafal Alquran tewas dalam peperangan. Umar bin Khattab meyakinkan Abu Bakar untuk mengumpulkan Alquran dalam manuskrip. Abu Bakar kemudian memanggil Zaid untuk membahas pengumpulan Alquran.
Abu Bakar yakin pemuda itu cerdas dan terpercaya. Bagi Zaid, mengumpulkan Alquran adalah tugas yang sangat berat. Bahkan, dia membandingkan hal itu dengan meng geser gunung yang dinilainya masih lebih mudah. Meski demikian, dia tetap menerima tugas tersebut.
Zaid mulai mengumpulkan bagian-bagian Alquran yang ditulis di perkamen, tulang belikat, daun pohon kurma, dan ingatan manusia. Dia melaksanakan tugas ini dengan penuh kehati-hatian dan bersungguh-sungguh. Dia menjaga agar tidak ada satu kesalahan pun.
Zaid telah menyelesaikan pekerjaannya sebelum Abu Bakar wafat. Dia membuat satu suhuf Alquran. Sebelum meninggal, dia mewariskan suhuf ini kepada Umar bin Khattab. Kemudian, Abu Hafs memberikan mushaf itu kepada putrinya yang juga istri Rasulullah, Hafsah, yang juga penghafal Alquran.
Selama masa kekhalifahan Usman bin Affan, daerah kekuasaan Islam meluas. Dam paknya mereka memiliki bahasa yang ber beda dalam membaca Aqluran. Sekelompok sahabat Rasulullah yang dipimpin oleh Huzayfah bin Yaman di Irak mendatangi Usman dan mendesaknya menyelamatkan umat Islam sebelum mereka memahamai Alquran dengan berbeda.
Usman mendapatkan manuskrip Alquran dari Hafsah dan memanggil Zaid bin Sabit serta beberapa sahabat lain yang berkompeten membuat salinan Alquran dengan akurat. Zaid kembali mendapatkan tugas dari Usman untuk menyalin Alquran. Dia pun menyalin Alquran dengan teliti.
Zaid bersama asistennya menulis banyak salinan. Setiap salinan itu dikirim ke setiap provinsi kekuasaan Islam. Sedangkan, salinan lainnya yang tidak sesuai dengan salinan tersebut harus dibakar. Hal ini penting untuk menghilangkan berbagai versi Alquran yang berbeda dari teks standar. Usman juga menyimpan satu salinan untuk dirinya sendiri. Sedangkan, mushaf yang asli dikembalikan kepada Hafsah.
Zaid pun menjadi seorang yang berwenang menulis Alquran. Umar bin Khatab pun pernah berbicara kepada kaum Muslim agar menemui Zaid jika ingin bertanya tentang Alquran. Setelahnya para tabi'in mendatanginya dan mendapatkan pengetahuan Alquran secara jelas. Ketika Zaid meninggal, umat Islam merasakan kesedihan mendalam. Umat Islam patut berterima kasih kepada Zaid karena dia telah membantu melestarikan Alquran yang kekal sepanjang masa.
Semangat Zaid Bukti Islam Sebarkan Optimisme
Suatu ketika, Rasulullah mengumpulkan pasukan di Madinah untuk berjalan ke selatan. Kekasih Allah itu memeriksa satu per satu prajuritnya untuk memastikan apakah sudah siap atau belum. Tiba-tiba Nabi menghentikan geraknya. Dia menatap seorang pemuda yang masih 13 tahun.
Badannya lebih kecil dibandingkan dengan prajurit lain. Dialah Zaid bin Sabit. Meski bertubuh kecil, Zaid mengaku memiliki semangat besar untuk memerangi musuh-musuh Islam demi menegakkan panji Allah. Semangat itu ditunjukkannya dengan membawa pedang berukuran lebih besar dari badannya.
Tanpa takut, Zaid mendatangi Rasulullah. "Aku mengabdikan diriku untukmu, utusan Allah, izinkan aku tinggal bersama Anda untuk melawan musuh-musuh di bawah panji-panjimu, ya Rasul," kata dia. Rasul menatapnya dengan kagum dan menepuk bahunya dengan kelembutan. Nabi menolak Zaid karena masih terlalu muda. Pemuda itu menundukkan kepala, lalu berjalan pergi. Dia memperlihatkan kekecewaan dengan menancapkan pedang nya ke tanah sambil berjalan lambat.
Di belakangnya, sang ibu, Nawat binti Malik merasakan hal sama; sedih dan kecewa. Ibunda Zaid sangat ingin melihat anaknya pergi bersama tentara mujahid dan bersama Nabi. Satu tahun kemudian, Zaid kembali menga j ukan diri menjadi bagian dari tentara Muslim. Saat itu persiapan sedang dilakukan untuk mengadakan pertemuan dengan kaum Quraisy di Uhud. Sekelompok remaja Muslim mendekati Rasulullah lengkap dengan senjata perang berbagai jenis, seperti pedang, tombak, busur panah, dan perisai.
Mereka ingin menjadi tentara untuk menegakkan panji Allah. Di antara mereka adalah Rafi bin Khadij dan Samurah bin Jundub yang memiliki perawakan kuat dan telah cukup usia untuk memegang senjata. Keduanya diizinkan Rasulullah bergabung dengan pasukan lain.
Berbeda dengan Abdullah bin Umar dan Zaid bin Sabit, keduanya masih terlalu muda dan lagi-lagi dianggap belum cukup umur untuk ikut berperang. Rasul berjanji untuk mempertimbangkan mereka menjadi pra jurit pada perang lain. Saat usianya menginjak 16 tahun, sesuai janji Rasul, dia diizinkan berperang. Akhirnya dia membela kaum Muslimin saat Perang Khandaq. Pada saat ikut berperang, Zaid menyadari betapa sulitnya menegakkan panji kebesaran Islam.
sumber:repuplika
Badannya lebih kecil dibandingkan dengan prajurit lain. Dialah Zaid bin Sabit. Meski bertubuh kecil, Zaid mengaku memiliki semangat besar untuk memerangi musuh-musuh Islam demi menegakkan panji Allah. Semangat itu ditunjukkannya dengan membawa pedang berukuran lebih besar dari badannya.
Tanpa takut, Zaid mendatangi Rasulullah. "Aku mengabdikan diriku untukmu, utusan Allah, izinkan aku tinggal bersama Anda untuk melawan musuh-musuh di bawah panji-panjimu, ya Rasul," kata dia. Rasul menatapnya dengan kagum dan menepuk bahunya dengan kelembutan. Nabi menolak Zaid karena masih terlalu muda. Pemuda itu menundukkan kepala, lalu berjalan pergi. Dia memperlihatkan kekecewaan dengan menancapkan pedang nya ke tanah sambil berjalan lambat.
Di belakangnya, sang ibu, Nawat binti Malik merasakan hal sama; sedih dan kecewa. Ibunda Zaid sangat ingin melihat anaknya pergi bersama tentara mujahid dan bersama Nabi. Satu tahun kemudian, Zaid kembali menga j ukan diri menjadi bagian dari tentara Muslim. Saat itu persiapan sedang dilakukan untuk mengadakan pertemuan dengan kaum Quraisy di Uhud. Sekelompok remaja Muslim mendekati Rasulullah lengkap dengan senjata perang berbagai jenis, seperti pedang, tombak, busur panah, dan perisai.
Mereka ingin menjadi tentara untuk menegakkan panji Allah. Di antara mereka adalah Rafi bin Khadij dan Samurah bin Jundub yang memiliki perawakan kuat dan telah cukup usia untuk memegang senjata. Keduanya diizinkan Rasulullah bergabung dengan pasukan lain.
Berbeda dengan Abdullah bin Umar dan Zaid bin Sabit, keduanya masih terlalu muda dan lagi-lagi dianggap belum cukup umur untuk ikut berperang. Rasul berjanji untuk mempertimbangkan mereka menjadi pra jurit pada perang lain. Saat usianya menginjak 16 tahun, sesuai janji Rasul, dia diizinkan berperang. Akhirnya dia membela kaum Muslimin saat Perang Khandaq. Pada saat ikut berperang, Zaid menyadari betapa sulitnya menegakkan panji kebesaran Islam.
sumber:repuplika
Post a Comment